A. Hukum Pidana
Hukum pidana dapat diartikan secara obyektif yang dikenal dengan istilah ius poneale dan secara subjektif dengan istilah ius poniendi.
Hukum Pidana Obyektif (Ius Poneale)
Menurut Edmund Mezger, seorang ahli kriminologi. Beliau mengatakan bahwa hukum pidana dapat didefinisikan sebagai berikut: “aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat- syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.”
Jadi definisi itu hukum pidana berpokok pangkal pada:
- Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu;
- Pidana.
1. Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu
“perbuatan yang memenuhi syarat- syarat tertentu” itu dimaksudkan sebagai perbuatan yang dilakukan orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat”.
Oleh karena itu dalam perbuatan jahat tersebut harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang ”perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi 2 yaitu:
- perbuatan yang dilarang dan;
- orang yang melanggar larangan itu.
2. Pidana
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat perbuatan itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini meliputi tindakan tata tertib (tuchtmaatregel).
Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan seperti yang tercantum pada pasal 10 KUHP, yaitu dalam hukuman pokok dan hukuman tambahan, sebagai berikut:
Yang termasuk hukuman pokok:
- hukuman mati;
- hukuman penjara;
- hukuman kurungan;
- hukuman denda.
Yang termasuk hukuman tambahan:
- pencabutan hak- hak tertentu;
- perampasan barang- barang tertentu;
- pengumuman keputusan hakim.
Hukum Pidana Subjektif (Ius Poniendi)
Hukum pidana secara subyektif dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Dalam arti luas hukum pidana merupakan hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu.
Sementara itu dalam arti sempit hukum pidana merupakan hak yang dilakukan oleh badan peradilan untuk menuntut perkara- perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Jadi dapat dikatakan bahwa hak dalam hukum pidana subyektif (ius poniendi) adalah hak mengenakan pidana, dan hukum pidana subyektif tersebut harus berdasarkan pada hukum pidana obyektif (ius poneale).
Fungsi hukum Pidana
Dapat dibedakan dua fungsi dari hukum pidana yaitu:
1.Fungsi yang umum
Oleh karena hukum pidana itu merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana sama juga dengan fungsi hukum pada umumnya ialah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
2.Fungsi yang khusus
Fungsi yang khusus dari hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosannya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum yang lainnya.
Jadi dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.
B. Tindakan Pidana (Delik)
Delik berasal dari beberapa istilah yang diantaranya yaitu: delictum (latin); delict (Jerman); delit (Perancis); delict (Belanda).
Sementara itu, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) atau yang sekarang disebut dengan PUEBI (Penggunaan Umum Ejaan Bahasa Indonesia), istilah delik memiliki arti tindak pidana.
Beberapa ahli juga mengemukakan pengertiannya mengenai delik yang diantaranya sebagai berikut:
- Prof. Moeljatno delik = perbuatan pidana
- Utrecht delik = peristiwa pidana
- Mr. Tirtaamidjaja delik = pelanggaran pidana
Macam-Macam Delik
Delik merupakan tindakan yang menjadi pembeda antara kejahatan dengan pelanggaran.
Menurut Wirjono Projodikoro, delik (tindak pidana) diantara kedua hal itu (kejahatan dan pelanggaran) ditentukan dengan perbedaan kuantitatif yang dimana kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat daripada pelanggaran.
Jenis Pidana dalam KUHP
Jenis pidana dalam KUHP telah disebutkan dalam pasal 10 yang memuat tentang pidana pokok dan pidana tambahan yang menjelaskan beberapa hal sebagai berikut:
Pidana Pokok, yang meliputi:
- Pidana mati
- Pidana penjara
- Pidana kurungan
- Pidana bersyarat
- Pidana denda
Pidana Tambahan, yang meliputi:
- Pencabutan hak-hak tertentu
- Perampasan barang tertentu
- Pengumuman putusan hakim
Sanksi Pidana
1.Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaraan-pelanggaran norma hukum.
Pengaruh ini tidak hanya ada bila sanksi pidana itu benar- benar diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit tetapi sudah ada, karena sudah tercantum dalam peraturan hukum. Perlu diingat bahwa sebagai alat kontrol, fungsi hukum pidana adalah subsider artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan apabila usaha-usaha lain kurang memadai.
2.Sanksi yang tajam dalam hukum pidana membedakannya dari lapangan hukum yang lainnya.
Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Oleh karena itu mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum redium yaitu obat terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lain tidak mempan.
3.Dalam sanksi hukum pidana terdapat suatu yang tragis (sesuatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai mengiris dagingnya sendiri atau sebagai pedang bermata dua.
Maksud dari ucapan itu adalah bahwa hukum pidana yang melindungi benda hukum (nyawa, harta, benda, kehormatan) dalam pelaksanaannya ialah apabila terdapat pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengadaan perlukaan terhadap benda hukum si pelanggar sendiri.
4.Hukum pidana itu merupakan hukum sanksi belaka.
Hukum pidana tidak memuat norma-norma baru, Norma-norma yang ada dalam cabang hukum lainnya dipertahankan dengan ancaman pidana. Oleh karena itu hukum pidana disebut sebagai accesoir terhadap hukum lainnya.
Dalam teori hukum pidana alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi 3 yaitu: alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan penghapus tuntutan. Sementara itu dalam KUHP tidak disebutkan istilah-istilah alasan pembenar & alasan pemaaf. Title ketiga dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan mengenai alasan-alasan yang menghapuskan pidana.
Alasan Pembenar
Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut & benar.
Biasanya dalam title ketiga dari buku pertama yang dipandang orang sebagai alasan pembenar adalah termuat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 49 (1), mengenai pembelaan terpaksa (noodweer);
- Pasal 50, mengenai melaksanakan ketentuan UU;
- Pasal 51 (1), melaksanakan perintah atasan;
- Pasal 48, mengenai daya paksa (overmacht).
Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
Biasanya dalam title ketiga daribuku pertama yang dipandang orang sebagai alasan pemaaf termuat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 49 (2), mengenai pembelaan yang melampaui batas;
- Pasal 51 (2), penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wenang
- Pasal 48, mengenai daya paksa (overmacht).
Alasan Penghapusan tuntutan
Dikarenakan pemerintah menganggap bahwa alasan dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi pidana.
Alasan penghapus tuntutan pidana dibagi menjadi:
1.Alasan penghapus pidana yang umum
Title 3 Buku Pertama;
2.Alasan penghapus pidana yang khusus
ex Pasal 310 (3).
Waktu Berlakunya Hukum Pidana
Waktu berlakunya hukum pidana sudah dijelaskan dalam pasal 1 KUHP yang menyatakan bahwa:
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yg paling menguntungkannya.
Menurut isi dari pasal tersebut, terdapat beberapa asas mengenai hukum pidana yang diantaranya sebagai berikut:
Asas Legalitas
Nullum delictum nulla poena sine preavia lege poenali (Hakim dilarang mencipta hukum apapila ketentuan pidana dalam UU tidak mengaturnya) termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Asas Tidak Berlaku Surut
Hukum pidana tidak berlaku surut/mundur. Termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Tetapi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, asas tersebut tidak secara mutlak dianut.
Asas Larangan Penggunaan Analogi
Hukum pidana tidak dapat ditafsir secara analogi. Termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Tags
Hukum