Sejarah Perang Teluk II (Latar Belakang, Jalannya Perang, dan Resolusi Perang)

Latar Belakang

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya invasi Irak ke Kuwait erat kaitannya dengan masalah ekonomi yang di alami Irak pasca perang teluk I.

Menurut Kamran Mofid seperti yang dikutip M.Riza Sihabudi, nilai kehancuran infrastruktur ekonomi Irak sejak berkobar Perang Teluk sampai Juli 1988 mencapai angka 67 miliar dolar AS. Jumlah tersebut belum termasuk dana yang harus dikeluarkan Irak untuk membeli peralatan militer. 

Berdasarkan data IISS, hutang luar negeri Irak yang sebagian besar digunakan untuk kebutuhan militer sekitar 75-80 miliar dolar AS. Jika ditotal nilai kerusakan infrastruktur ekonomi, hutang luar negeri dan kerugian akibat perang (merosotnya GNP dan pendapatan dari ekspor minyak), maka seluruh biaya ekonomi Perang Teluk I dapat mencapai 452,6 miliar dolar.

Padahal pendapatan tertinggi Irak yang dapat dicapai dari hasil produksi minyaknya tidak lebih dari 12 miliar dolar AS pertahun. Hal ini berarti Irak membutuhkan waktu sekitar 40 tahun hanya untuk merekonstruksi negaranya yang ahncur akibat perang dan melunasi hutang luar negerinya.

Oleh karena itu dengan menyerbu Kuwait yang merupakan salah satu negara kaya minyak, Saddam Hussein berharap dapat menempuh jalan pintas untuk segera dapat memulihkan keadaan ekonomi yang buruk pasca Perang Teluk I.

Apalagi setelah Kuwait dalam perundingan di Arab Saudi pada 31 Juli 1990, secara tegas menolak tuntutan Saddam Hussein agar membayar ganti rugi pada Irak sebesar 16,4 miliar dolar AS serta menghapuskan semua utang Irak pada Kuwait sekitar 10 sampai 15 miliar dolar AS dan memberikan daerah Rumailah serta Pulau Babiyan yang kaya sumber minyak kepada Irak.

Saddam Hussein kemudian menuduh Kuwait telah mencuri minyak Irak di ladang Rumailah yang dipersengketakan antara Irak dan Kuwait senilai 2,4 miliar dolar AS dan bahwa Kuwait dan Uni Emirat Arab telah menohok dengan membanjiri minyak dunia sehingga menimbulkan kerugian di pihak Irak senilai 14 miliar dolar AS.

Akibat pelanggaran kuota OPEC yang dilakukan Kuwait dan UEA, harga minyak sempat anjlok sampai sekitar 15 dolar AS perbarel. Irak yang mengandalkan minyak sebagai komoditi utama sangat terpukul dengan anjloknya harga minyak di pasaran Internasional.

Apalagi pendapatan dari sektor minyak sangat dibutuhkan Irak untuk merekonstruksi kembali kerusakan akibat perang dengan Iran selama Perang Teluk I.

Proses Jalannya  Perang Teluk II 


Jalur diplomasi  antara Irak dengan Kuwait maupun Arab Saudi mengalami kegagalan sehingga Irak menggelar pasukannya di perbatasan Irak-Kuwait. Pada 2 Agustus 1990 pukul 4.30 waktu setempat, sekitar 300.000 tentara Irak dengan di dukung 3500 tank, puluhan rudal Scud, Mic-29 dan beberapa pesawat Mirage menyerbu Kuwait.

Pasukan Irak hanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk menguasai seluruh Kuwait. Keberhasilan ini karena pengalaman tempur pasukan Irak selama Perang Teluk I dan perimbangan kekuatan yang mencolok antara Irak dengan Kuwait.

Saddam Hussein menegaskan bahwa Kuwait yang diduduki sejak 2 Agustus 1990 merupakan propinsi ke-19 dari negara Irak. Status ini tidak dapat diubah oleh pihak manapun. Bahkan Irak tidak akan mundur satu inci pun dari wilayahnya.

Saddam Hussein kemudian mengangkat Ali Hassan Al-Majid sebagai Gubernur Kuwait yang selanjutnya mengumpulkan para sukarelawan untuk bertempur melawan Kuwait.

Pada Januari 1991 waktu Baghdad, operasi pembebasan Kuwait yang diberi nama “Operation Desert Storm” (Operasi Badai Gurun) dimulai, dengan dilancarkannya serangan udara oleh pesawat-pesawat tempur F-15 dan pesawat gabungan pasukan multinasional.

Serangan tersebut juga didukung oleh tembakan rudal Tomhawk dari kapal-kapal Multinasional di Teluk. Pada serangan pertama pasukan multinasional mengerahkan serangannya pada sasaran-sasarannya sebuah pabrik yang diperkirakan memproduksi gas syaraf dan gas mostar yang terletak di sekitar 40 km barat daya Kota Samara. Pabrik ini merupakan pabrik kimia terbesar di Irak.

Pada serangan pertama, Irak tidak melakukan pembalasan. Baru pada 18 Januari 1991, Irak melepaskan 8 rudal Scud ke Israel dan Arab Saudi.

Serangan balasan Irak ke Israel dimaksudkan untuk memperluas Perang Teluk II dengan melibatkan Israel sehingga diharapkan koalisi pasukan multinasional pimpinan AS akan pecah dan negara-negara Arab akan membantu Irak. Namun karena lobi AS terhadap Israel, maka Israel tidak membalas serangan Irak.

Pada 19 Januari 1991, pasukan multinasional kembali melakukan serangan udara terhadap Kota Baghdad. Serangan tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan peluncur-peluncur peluru kendali Scud milik Irak. Serangan rudal Scud ke Tel Avivdan Dahran menewaskan 4 orang sipil dan melukai beberapa warga Israel.

Pada waktu yang sama, pasukan multinasional juga berhasil melakukan serangan udara sebanyak 10.000 serangan udara.

Selama Perang Teluk II, pihak pasukan multinasional pimpinan AS lebih banyak mengandalkan serangan udara daripada darat. Hal ini didasarkan pada pengalaman pahit AS selama Perang Vietnam. Serangan udara juga dimaksudkan agar mampu menghancurkan industri vital Irak serta ekonomi militer yang menghubungkan Irak dengan Kuwait.

Dengan demikian, diharapkan pasukan Irak akan keluar dari bunker-bunker perlindungan dan mental pasukan Irak akan merosot sehingga akan menyerah dan tertekan. Dengan hancurnya infrastruktur Irak juga diharapkan akan menimbulkan pemberontakan dalam negeri Irak.

Pada 29 Januari 1991, tanpa diduga sebelumnya, tank-tank Irak berhasil memasuki Kota Khafji di Arab Saudi dan menduudkinya selama dua hari.

Serangan tersebut mengakibatkan pasukan multinasional semakin gencar dalam membalas serangan dari pasukan Irak. Pada 13 Februari, bom-bom AS menghantam bunker-bunker sipil Irak yang menewaskan 300 orang penduduk sipil Irak.

Sampai pada 23 Februari 1991, pasukan multinasional pimpinan AS melancarkan ultimatum terhadap Irak, yaitu jika pasukan Irak tidak segera ditarik mundur dari Kuwait, maka perang darat akan pecah. Sebaliknya justru Irak menyikapi ultimatum tersebut dengan menyatakan bahwa pasukannya siap berperang. Pada 24 Februari 1991, perang darat pecah.

Pada hari berikutnya, pasukan multinasional berhasil menawan 20.000 tentara Irak serta menghancurkan ratusan tank. Pada 26 Februari nya, Irak mengumumkan pasukannya siap mundur dari wilayah Kuwait. Pada 27 Februari, panglima tentara pasukan multinasional, Jenderal Norman Schwarzkopf mengatakan paling tidak 29 Devisi Irak dan lebih dari 300.000 tentara Irak berhasil dilumpuhkan.

Pada 28 Februari pukul 05.00 GMT, George Bush memerintahkan penghentian serangan yang menandai berakhirnya Perang Teluk II.

Akhir Perang Teluk II

Upaya penyelesaian Perang Teluk II dilakukan baik melalui jalur diplomasi maupun militer. Pada 1 Agustus 1990 di Kota Jeddah, Arab Saudi, delegasi Irak dibawah pimpinan Wakil Presiden yang juga Wakil Komandan Dewan Revolusi Irak, Jenderal Izzat Ibrahim mengadakan pertemuan di Meja perundingan dengan perdana Menteri/putra mahkota Kuwait, Sheikh Saad Al-Abdullah A-Sabah.

Mereka membicarakan tentang bagaimana mengatasi konflik Irak-Kuwait yang timbul beberapa minggu sebelumnya. Raja Fahd bin Abdul Aziz atas kerja sama dengan Presiden Husni Mubarak dan dibantu beberapa pemimpin Negara Arab lainnya mengadakan kontak-kontak dengan pemimpin Arab memintakan pendapat mengenai penyelesaian damai Irak-Kuwait.

Presiden Mubarak sebelumnya optimis dengan misi ulang-aliknya antara Cairo, Baghdad, Kuwait dan Jeddah.Uluran tangan Mubarak ini semula mendapat tanggapan serius dari Presiden Irak, Saddam Hussein bahwa insiden bersenjata tetap dijauhi.

Atas prakarsa Raja Fahd kota Jeddah dipilih sebagai tempat perundingan. Sehingga lewat televisi Arab Saudi, Pirsawan masih menyaksikan kedua pemimpin Irak-Kuwait (Izaat dan Saad) berpelukan mesra sambil berangkulan model Arab, disaksikan Raja Fadh, Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Abdullah dan Menlu Saud Al-Faisal serta petinggi kedua Negara.

Tampaknya sama sekali tidak ada kekeruhan dan percekcokan biasa-biasa saja. Akibat tidak ada keterbukaan dalam perundingan tersebut, tidak banyak yang dapat diketahui apa yang sebenarnya yang terjadi dalam pertemuan antara kedua pemimpin Irak dan Kuwait.

Tampaknya, Irak sudah memasang perangkap. Persiapan perang sengaja dialihkan ke meja perundingan untuk mengintimidasi Kuwait. Gerakan Saddam dengan peluru di pinggangnya memerintahkan 30.000 prajurit mendekati perbatasan Kuwait, mereka semua diperintahkan untuk mengadakan latihan perang, maneuver di Basra, Irak Selatan 10 km dari perbatasan Kuwait.

Perundingan di Jeddah tidak membawa hasil yang memuaskan Saddam Husein. Kuwait menolak permintaan Irak untuk membebaskan hutang Irak yang bertumpuk semenjak Perang Irak-Iran (1980-1988).

Semula Irak mengisukan bahwa sejumlah pasukannya di perbatasan Kuwait telah ditarik mundur secara bertahap dan Kuwait pun cepet bertindak, menarik pula pasukannya dari perbatasan dengan Irak. Membaca situasi demikian, Saddam kembali mengusulkan supaya Kuwait mengakui mencuri minyak Irak di lepas pantai Pulai Warba dan Pulau Babiyan yang sudah lama menjadi ajang sengketa dengan Irak.

Irak menuntut ganti rugi sebesar US$ 2,4 miliar kepada Kuwait dengan alasan Kuwait menyedotnya dari wilayah Irak selama perang 8 tahun dengan Iran.

Lalu, Irak meminta supaya Kuwait menyewakan kedua pulau Warba dan Bubyan selama 99 tahun, guna memperoleh fasilitas pelabuhan bebas Irak dan dapat mengendalikan lalu lintas minyak di Teluk Persia dan tuntutan yang lain adalah pembebasan hutang Irak kepada Kuwait sebesar US$ 10 miliar lebih.

Tampaknya dengan taktik tarik menarik pasukan di perbatasan, Irak melihat peluang baru untuk dapat memasuki Kuwait tanpa perlawanan.

Pada akhirnya jalur diplomasi mengalami jalan buntu, maka seperti kata Clausewitz, bahwa perang merupakan alat lain menuju perdamaian. Dewan Keamanan PBB telah mngecam invasi Irak ke Kuwait dan menuntut penarikan mundur pasukan Irak dari Kuwait dengan segera dan tanpa syarat.

PBB juga akhirnya melakukan Resolusi yang ditandatangani oleh 14 negara dari sejumlah Negara anggota Dewan Keamanan. Yaman merupakan satu-satunya Negara Arab yang tidak mengikuti pemungutan suara dengan alasan tidak menerima instruksi.

Resolusi Dewan Keamanan PBB No.660 antara lain berisi: 
  1. Mengecam keras invasi Irak ke Kuwait
  2. Menuntut Irak sengan segera dan tanpa syarat menarik mundur pasukannya dari Kuwait sebelum 1 Agustus 1990
  3. Menyarankan kepada Irak dan Kuwait segera mengadakan perundingan secara intensif untuk menyelesikan perbedaan pendapat dan mendukung usaha penyelesian yang dilakukan oleh Liga Arab
  4. Memutuskan bersidang lagi kalau dipandang perlu untuk menimbang langkah selanjutnya agar sesuai dengan masksud resolusi.

Setelah keluar Resolusi Dewan Keamanan PBB No.660 segera keluar lagi Resolusi Dewan Keamanan PBB No.661,662,664,665,667,668,669,670,674,dan 677. Oleh karena semua resolusi tersebut tidak mendapat tanggapan dari Irak, maka Dewan Keamanan PBB selanjutnya mengeluarkan Resolusi Nomor 678 yang pada intinya memberikan kewenangan kepada pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat untuk menggunakan segala cara jika Irak tidak menarik diri dari Kuwait sampai 15 Januari 1991.

Pecahnya Perang Teluk II mencerminkan betapa lemahnya PBB dalam mengatasi masalah Internasional. Hal ini tidak hanya terlihat jelas dari ketidakefektifan sanksi ekonomi dan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi juga terlihat dari ketidakmampuan PBB mengatasai tekanan-tekanan yang dilakukan negera-negara besar, khususnya Amerika Serikat.

Hal ini berarti pecahnya Perang Teluk II kembali membuktikan bahwa PBB pada hakikatnya memang lebih banyak melayani Negara-negara besar seperti Amerika Serikat daripada memperhatikan nasib-nasib bangsa-bangsa yang lemah seperti memecahkan dan memperjuangkan nasib bangsa Palestina.

Dava

Hanya seorang manusia biasa yang hobi nonton film dan main game

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form